Irwan Bajang
Bangun Tengah Malam
mimpi resah tentangmu yang pergi dengan kereta,
menjauh dari mimpi-mimpi indah sebelumnya aku terbangun,
hanya suara rel tergesek roda kereta semakin keras
semoga itu bukan kereta yang menjemputmu
tanah tak bertuan
tanah yang tak pernah aku kenali
terbangun tengah malam
aku tahu mimpi ini tak hanya jadi mimpi
sebab hari makin berlari dan menggiringku untuk melepasmu
kelak dalam sepi sendiriku
akan kubisikkan pada pagi yang belum datang
bahwa aku merindumu,
seperti aku merindukan malam-malam masa kecilku yang penuh dongeng
Bangun tengah malam
aku terbangun,
tanah tak bertuan
terbangun tengah malam
kelak dalam sepi sendiriku
akan kubisikkan pada pagi yang belum datang
bahwa aku merindumu,
seperti aku merindukan malam-malam masa kecilku yang penuh dongeng
Arif Fitra Kurniawan
YANG BERHASRAT MEMINANGMU: KEKASIHKU
kemudian datang lengan berseragam rapi, abdi negara, berlumur minyak wangi, yang didulang dari keringat rakyat sendiri. sungguh ia pandai, seumpama kau pohon kapas ia gesit tupai, ia menumbangkan seisi ladang, juga lunas perabotan.agar engkau menjadi cermin yang leluasa berdandan.tapi bagaimana bisa, bila dalam tiap kedipmu, selalu tumbuh silau wajahku.cintamu kepada aku, adalah dahan raksasa yang menjatuhkan keasyikan bermainya meloncat-loncat sepanjang paribahasa.
ia mengaku pernah terkenal saat datang kepada engkau,sebagai pemusik,pengrajin suara,
lalu kau dimasukkan kedalam rencana besarnya,menghabiskan dunia, berdua.ia merayumu dengan gula-gula dan lagu-lagu. kau cuma tersenyum, membiarkanya gila dalam kegagalan. kau asyik berbicara sendiri, tiap nada yang keluar dari bibirmu adalah panjang nadi darahku. cintamu kepada aku, membuat seluruh lagunya dihantui lolong panjang serigala terjerat tanggal lima belas purnama.
Galih Pandu Adi
Dinding yang Retak di Bulan Januari
pada jejak yang semakin padat
dalam lindap januari
yang jatuh di atap-atap
aku kembali retak
"Siapa melukis wajah di sini
dengan cat berwarna usang dan sepi?"
musim terlalu lembab untuk kita ziarahi
dan kita menjadi lapuk di baris puisi
sampai di akhir bulan ini
gerimis semakin mengikis
kau datang dengan denyut yang hampir habis
tunggulah, biar kurebus sebentar
air hangat dan bulan perak
dan kuhidangkan saat gigil mengendap
sampai percakapan memilin kita
saat malam semakin sekarat
duh yang kekal di purnama kesumba
duh yang ombak di baris usia
duh yang menghentak di muka sajak
duh yang terlumat dalam segala jejak
duh yang selalu sepi saat kembali
duh yang merupa di gema doa
duh yang terlempar di halaman pertama
"Siapa melukis wajah di sini
dengan cat berwarna usang dan sepi?"
sampai khatam usia waktu
aku dinding dengan coretan dari tanganmu
kikis dan semakin retak
sampai habis kelak
ku kenakan wajahmu
kau kenakan tubuhku
0 komentar:
Posting Komentar